Education, Environment, International Law, Law, Tana Air Beta

Kaum Muda dan Gerakan Maritim

“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, samudera, selat dan teluk, dan kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagaimana semboyan kita di masa lalu, bisa kembali”. Genderang Poros Maritim ditabuhkan Presiden Joko Widodo secara resmi seusai pelantikannya, 20 Oktober 2014 silam.

Gagasan poros maritim sejatinya harus diperhatikan sebagai visi Indonesia, bukan sekedar visi pemerintahan Jokowi. Sejak tahun 2001, PBB telah menyatakan abad 21 ini sebagai Abad Maritim. Masa depan dunia—termasuk Indonesia—berada di laut. Sudah semestinya orientasi dan kerangka berpikir seluruh komponen bangsa harus diubah menuju visi kemaritiman agar ada sense of ownership untuk menjadikan Indonesia negara maritim.

Tentunya, peran besar generasi muda sangat diharapkan. Generasi muda harus menjadi yang terdepan dalam menghadapi visi kemaritiman. Apakah poros maritim memang benar menjadi solusi atas permasalahan yang ada di laut Indonesia selama ini? Lantas bagaimana peran kaum muda dalam mewujudkan visi tersebut?

 

Sekelumit Permasalahan

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang luas, potensi sumber daya alam yang besar dan letaknya yang strategis (berada di persilangan dua samudra, Hindia dan Pasifik) memang sudah seharusnya menjadi poros maritim. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kejayaan Indonesia dalam budaya bahari telah dibuktikan dalam sejarah Sriwijaya dan Majapahit di masa lampau. Indonesia, salah satunya ingin menghidupkan kembali ‘Jalur Rempah’ sebagai pondasi Visi Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.

Namun, Indonesia juga sudah lama dihadapkan pada sekelumit permasalahan di wilayah laut, seperti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, masih maraknya illegal fishing, traficking, dan bahkan penyelundupan senjata. Lebih parahnya lagi, ketidakmampuan Indonesia dalam mengelola lautnya menyebabkan masyarakat pesisir dan nelayan menjadi komunitas termiskin di seluruh Nusantara.

Poros Maritim Dunia yang notabene menjadi doktrin politik luar negeri Indonesia secara makro menekankan realitas geografis, geostrategis, dan geoekonomi Indonesia yang dipengaruhi dan mempengaruhi dinamika di Samudra Hindia dan Pasifik. Lalu, secara mikro gagasan ini terdiri atas empat poin utama, yaitu mengatasi pasar gelap tuna dan pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), memberantas illegal fishing, ekspansi budidaya laut, dan mengembangkan padat karya di sektor maritim.

Untuk menjadi poros maritim dunia, sejumlah selat potensial—seperti Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar, Selat Maluku, Selat Karimata, dan sebagian Selat Malaka—itu harus segera disiapkan menjadi poros-poros maritim nasional dan dunia yang siap dilalui kapal-kapal perdagangan maupun kapal-kapal wisata dunia (Bernhard Limbong, 2014). Jika tidak, potensi-potensi itu tak akan pernah mampu mengalahkan Singapura dan Malaysia dengan Selat Malaka-nya.

 

Tantangan dan Peluang Kemitraan Trans-Pasifik

Akhir Oktober lalu, Presiden Jokowi berkunjung ke AS untuk mengungkapkan niatnya bergabung dengan Trans Pacific Partnership (Kemitraan Trans-Pasifik). Kemitraan Trans-Pasifik ini lebih merupakan perjanjian perdagangan yang mencakup banyak hal, seperti liberalisasi di sektor pengadaan pemerintah, ketentuan tentang hak kekayaan intelektual, hingga menempatkan BUMN sama dengan perusahaan swasta lain.

Namun, sangat disayangkan pemerintah Indonesia saat ini disadari sama sekali tidak punya strategi global. Untuk itu keinginan Presiden Jokowi untuk bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik perlu dipertimbangkan secara komprehensif. Hasil kajian Kementrian Perdagangan menyimulasikan jika Indonesia tidak masuk kesepakatan itu maka ekspor Indonesia akan stagnan dalam beberapa tahun ke depan (Harian Kompas, 12/11).

Pemerintah, ternyata tetap akan menjajaki TPP setelah merampungkan negosiasi Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Kawasan (RCEP) dan Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif dengan Uni Eropa. Target yang ingin dicapai Indonesia sesungguhnya adalah terbukanya akses pasar yang akan menguatkan daya saing produk ekspor Indonesia.

Potensi pasar yang lebih luas, khususnya di kawasan Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, dinilai sangat menarik karena terdiri atas masyarakat yang berpenghasilan tinggi (Harian Kompas, 21/11). Untuk itu reformasi ekonomi dan strategi industrialisasi semestinya harus dijalankan lebih serius dan dilakukan sejak dini sembari menganalisis manfaat dan kerugian menjadi bagian dari TPP.

 

Poros Maritim-kah Solusinya?

Menurut Jawahir Thontowi, dalam mewujudkan gagasan poros maritim dunia setidaknya ada lima pilar yang harus menjadi perhatian, yakni diplomasi maritim Indonesia di Asean, pemanfaatan sumber daya ekonomi laut bagi kesejahteraan rakyat, membangun budaya maritim Indonesia, urgensi pertahanan dan keamanan maritim Indonesia, pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim Indonesia (Kedaulatan Rakyat, 6/8).

Kelima pilar tersebut sekaligus memberi kesempatan bagi kaum muda untuk memahami secara luas dan mendalam demi mewujudkan poros maritim yang menjamin kehidupan yang layak bagi kelompok marjinal di seluruh pesisir nusantara. Generasi muda harus yakin bahwa Indonesia dapat berkembang sebagai bangsa maritim yang besar jika ditopang oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Namun, kapasitas SDM Indonesia di bidang maritim dirasa masih lemah. Untuk itu, pemerintah dapat meningkatkan kualitas—utamanya—pendidikan menengah kejuruan maritim dan universitas maritim. Pemerintah juga perlu mengembangkan balai latihan kerja di sektor maritim.

Dibalik kualitas SDM bidang maritim yang bagus, maka tersimpan potensi besar dalam menggerakkan perekonomian nasional. Mulai dari sektor perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, industri sampai dengan jasa maritim. Tentunya, pemerintah perlu melakukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu. Mulai dari keterpaduan berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi, berbagai level pemerintahan dari pusat hingga kecamatan dan desa, integrasi pemanfaatan ekosistem darat dan laut, serta integrasi sain/teknologi dan manajemen.

 

Perlu Gerakan Maritim

Tantangan terbesar kaum muda saat ini adalah seberapa besar mereka melandasi perilakunya berdasarkan nilai-nilai demokrasi dan tidak kontra produktif terhadap kemajuan maritim bangsa. Kaum muda—utamanya mahasiswa—harus bergaul langsung dengan realitas ketimpangan sosial di wilayah pesisir, sebab mahasiswa merupakan pengemban isu-isu kelompok marjinal.

Peran mahasiswa sangat dibutuhkan dalam membangun Republik yang konon begitu besar. Sudah sepantasnya fakta sejarah yang gemilang tersebut mengilhami generasi muda untuk mengubah orientasi dan kerangka berpikir menuju visi maritim dengan menggagas poros maritim dunia sebagai upaya mengembalikan kejayaan masa lampau Indonesia.

Dalam era dimana informasi menjadi oksigen demokrasi, mahasiswa bisa memperjuangkan ide-idenya dalam melakukan pembelaan dan pemberdayaan terhadap kaum marjinal. Pembangunan yang kerap menggilas wilayah pesisir sering disertai diskriminasi dan teror yang mengancam masyarakat kecil. Optimisme tentang lahirnya sebuah gerakan maritim yang memperjuangkan kaum marjinal sangat penting untuk diwujudkan. Harapan dari gerakan maritim ini akan lahir kader-kader nelayan atau pelaut muda yang siap untuk terjun di bidang maritim.

Kedepan, gerakan ini wajib mentransformasikan visi maritim Indonesia kepada seluruh masyarakat—terutama yang tinggal di wilayah pesisir. Sudah saatnya Indonesia bangun dari tidur lelapnya sebagai bangsa maritim, jika tidak ingin terlindas oleh negara lain di kancah global.

*Alam S. Anggara, Menulis Opini.

Standard