Assignment, International Law, Law, Review

Dari Proklamasi Truman Hingga Deklarasi Santiago

Hukum laut internasional didasarkan atas pembagian dua laut menjadi laut territorial yang berada di bawah kedaulatan negara dan laut lepas yang bersifat bebas berlaku tanpa terlalu banyak perubahan hingga akhir Perang Dunia Kedua. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, keadaan berubah yang disebabkan oleh tiga faktor, yakni:

  1. Banyaknya jumlah negara yang merdeka;
  2. Kemajuan teknologi sebagai akibat dari pesatnya kemajuan-kemajuan teknologi selama Perang Dunia Kedua;
  3. Bergantungnya bangsa-bangsa pada laut sebagai sumber kekayaan alam, baik kekayaan hayati (living resources), maupun mineral (minyak bumi dan gas). Hal ini berakibat pada tindakan mengambil kekayaan alam secara sepihak dan juga terjadinya sengketa-sengketa (bertalian dengan sengketa kekayaan hayati laut).

Kemudian ada juga beberapa kejadian atau peristiwa yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap hukum laut internasional, diantaranya: a) Proklamasi Truman Tahun 1945 tentang Continental Shelf, dan Perikanan; b) Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia yang menjadi perkara dihadapan Mahkamah Internasional dan dikenal dengan Perkara Perikanan Inggris dan Norwegia; dan c) Klaim-klaim yang diajukan oleh beberapa negara Amerika Selatan bertalian dengan suatu jalur 200 mil.

  1. Proklamasi Presiden Truman tahun 1945 tentang Continental Shelf.

Pada tanggal 28 September 1945, Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman telah mengeluarkan Proklamasi Nomor 2667, “Policy of the United States with Respect to the Natural Resources of the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf”.[1] Dengan proklamasi tersebut, dimulailah suatu perkembangan dalam hukum laut yang didasarkan atas pengertian geologi yakni “Continental Shelf” atau dataran kontinen. Hal ini bertujuan untuk mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsanya, terutama kekayaan mineral (minyak dan gas bumi).

Dalam Proklamasi Truman mempertimbangkan untuk melakukan pencarian sumber-sumber baru dari minyak bumi dan barang tambang lainnya, mengingat kebutuhan akan kekayaan mineral ini jangka panjang. Tindak lanjutnya adalah perlu diadakan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut (seabed) dan tanah bawah (subsoil)—dataran kontinen yang teratur. Demi keamanan pengusahaan sumber alam yang terdapat dalam continental shelf, kekuasaan untuk mengatur seyogyanya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan dataran kontinen yang bersangkutan.

Dari penjelasan di atas, Pemerintah Amerika Serikat jelas memiliki tujuan untuk mengamankan atau menyimpan cadangan kekayaan mineral yang terdapat dalam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai, dengan tidak bermaksud untuk mengganggu pelayaran bebas yang terdapat di laut lepas. Proklamasi Truman sekaligus juga memperluas wewenang Amerika Serikat untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan dengan pantainya dengan tetap menegaskan bahwa kedaulatan atau yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut teritorial 3 mil.

Sebenarnya, di dalam sejarah hukum laut sudah ada contoh yang serupa, seperti penambangan batu bara di Selat Inggris (English Channel) di Cornwall dan pengambilan mutiara dari dasar laut dekat pantai Ceylon dan di Teluk Persia. Sebelum Proklamasi Truman Tahun 1945, sebenarnya juga telah ada Perjanjian antara Venezuela dan Inggris Tahun 1942 yang membagi dasar laut yang terletak antara Venezuela dan Trinidad dan Tobago di luar laut teritorial masing-masing. Para ahli hukum internasional bersepakat bahwa suatu negara pantai hanya dapat memiliki yurisdiksi atau penguasaan atas dasar laut (dan tanah di bawahnya) yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan effective occupation (penguasaan secara efektif) atau hak yang didasarkan atas kebiasaan (prescription).

Dalam konsepsi penguasaan terkait dengan teori “continental shelf” ini melepaskan hak penguasaan sumber-sumber kekayaan hayati dan mineral dengan mendasarkan pada “effective occupation”. Menurut doktrin laut lepas kala itu, masih belum jelas apakah menganut teori “res nullius” atau “res communis” terkait dengan penguasaan oleh suatu negara atas sebagian laut lepas yang hanya dibenarkan atas dasar “effective occupation”.

Mengenai pemunculan pengertian continental shelf dalam hubungannya dengan hukum laut pertama kalinya diperkenalkan oleh Odon de Buen (seorang Spanyol) dalam Konferensi Perikanan di Madrid pada tahun 1926. Konsepsi tersebut mendasarkan pada anggapan bahwa perairan di atas dataran kontinen (continental shelf) merupakan perairan yang sangat baik untuk kehidupan ikan. Penggunaan konsep ini secara tegas terdapat dalam pandangan-pandangan de Magelhaes[2] dalam laporannya kepada Liga Bangsa-Bangsa pada waktu diadakannya persiapan-persiapan untuk Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930. Dengan demikian jelas kiranya hubungan continental shelf erat kaitannya dengan kekayaan hayati dan mineral dari suatu negara pantai.

Apabila diteliti, setelah Proklamasi Truman tahun 1945 telah ada tindakan-tindakan sepihak dari suatu negara terkait dengan seabed dan subsoil yang kemudian dapat digolongkan menjadi empat golongan:

  1. Tindakan perluasan yurisdiksi yang ditujukan kepada penguasaan kekayaan alam yang terkandung dalam dasar laut dan tanah bawah (seabed and subsoil) laut yang berbatasan dengan pantai;
  2. Perluasan yurisdiksi atau kedaulatan atas dasar seabed dan subsoil daripada continental shelf itu sendiri;
  3. Perluasan kedaulatan atas continental shelf dan perairan di atasnya; dan
  4. Perluasan kedaulatan atas lautan—dengan atau tanpa menyebut continental shelf—hingga suatu ukuran jarak tertentu, misalnya 200 mil.

Jika melihat asas-asas yang terkandung dalam Proklamasi Truman 1945, maka tindakan-tindakan sepihak negara yang termasuk golongan 1 dan 2 dapat dikatakan serupa dengan tindakan Pemerintah Amerika Serikat di tahun 1945. Kemudian tindakan-tindakan negara yang termasuk golongan 3 sudah melangkah lebih jauh karena sudah meliputi perairan yang di atasnya (superjacent waters), walaupun dalam tiap-tiap kasus harus diteliti lagi apakah benar yang dimaksudkan dengan kata kedaulatan (sovereignty). Praktik negara yang tergolong kategori 4 seperti misalnya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Ekuador, Chili, Peru (dan Kosta Rika) yang menyebutkan bahwa 200 mil sebagai batas berlaku “kedaulatan” sebenarnya sudah agak jauh dari pengertian continental shelf. Secara geologis negara-negara ini memang tidak atau hampir tidak memiliki continental shelf yang berbatasan dengan pantainya.

Bagaimanapun isi dan wujudnya, praktik negara-negara berkaitan dengan perluasan yurisdiksi atas dasar laut dan tanah dibawahnya—setelah Proklamasi Truman tahun 1945—merupakan perongrongan atau penggerogotan kebebasan laut lepas yang jauh lebih berbahaya ketimbang perluasan yurisdiksi di luar batas laut teritorial untuk pencegahan dan pemberantasan penyelundupan. Dengan adanya Proklamasi Truman tentang Continental Shelf telah dimulai suatu gerakan penguasaan atau pemilikan atas kekayaan alam (marine resources) bahkan atas dasar laut dan tanah dibawahnya itu sendiri. Keperluan untuk menentukan batas-batas dan isi yang pasti terkait dengan continental shelf sebagai konsepsi hukum inilah yang menjadi salah satu pendorong bagi diadakannya Konferensi Hukum Laut di Jenewa pada tahun 1958.

  1. Proklamasi Presiden Truman tahun 1945 tentang Perikanan

Pada tanggal 28 September 1945, Presiden Truman juga mengumumkan Proklamasi tentang Perikanan. Ada beberapa pertimbangan yang mendorong Pemerintah Amerika Serikat mengambil tindakan yang inti pokoknya dituangkan dalam Proklamasi Perikanan tersebut. Menurut Pemerintah Amerika Serikat, perikanan sangat penting sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat yang hidup di daerah pantai dan sebagai sumber bahan bagi industri makanan rakyatnya.

Meningkatnya kemajuan dalam peralatan dan teknik penangkapan ikan menimbulkan bahaya penangkapan yang berlebihan (over fishing) yang berdampak pada terkurasnya sumber kekayaan ikan. Hal ini telah menimbulkan kebutuhan yang mendesak untuk melindungi sumber perikanan pantai dari cara pengambilan yang mengancam kelangsungan sumber kekayaan ini.

Inti pokok dari kebijaksanaan perlindungan perikanan yang termuat dalam Proklamasi Truman 1945 adalah sepatutnya ditetapkan daerah-daerah perlindungan perikanan, dimana kegiatan perikanan seluruhnya dibawah pengaturan Amerika Serikat. Kemudian Amerika Serikat dan negara asing dapat membuat perjanjian yang menetapkan daerah perlindungan perikanan (fisheries conservation zone). Kegiatan perikanan dalam daerah-daerah perlindungan perikanan ditetapkan bersama dalam perjanjian tersebut.

Proklamasi Perikanan tahun 1945 menegaskan bahwa penetapan daerah-daerah perlindungan perikanan tidak mempengaruhi status daripada laut lepas (high seas) yang bersangkutan sebagai laut bebas. Sebagaimana diketahui dalam doktrin pembagian laut tradisional menjadi laut teritorial dan laut lepas, kebebasan laut lepas dalam arti yang mutlak berarti bahwa di luar batas teritorial, tidak ada pembatasan apapun atas kegiatan penangkapan ikan oleh siapapun juga. Namun, pembatasan atas kemauan sendiri (self imposed restriction) secara bersama, tidak mengurangi prinsip bahwa pada dasarnya orang bebas untuk menangkap ikan di laut lepas—kala itu bersumber pada Hugo Grotius, bahwa lautan merupakan sumber kekayaan alam yang tak kunjung habis (an inexhaustible source of wealth).

Jika dilihat dari sudut kebebasan menagkap ikan di laut lepas, tindakan Pemerintah Amerika Serikat—dengan Proklamasi Perikanannya—merupakan contoh perongrongan, dimana suatu negara menyatakan haknya untuk melakukan tindakan sepihak yang menyangkut perikanan di luar batas laut teritorialnya.

  1. Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Keputusan Mahkamah Internasional Tahun 1951)

Perkara antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case tahun 1951) mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat sahnya penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam Firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum internasional. Inggris menggugat cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada pantai Norwegia. Dalam cara penarikan garis pangkal lurus yang dilakukan Norwegia, deretan pulau di muka pantai (skjaergaard) dianggap sebagai bagian dari pantai Norwegia.

Bulan Juli tahun 1935, Norwegia dengan sebuah Firman Raja (Royal Decree) menetapkan batas-batas perairan perikanan Norwegia yang tertutup bagi nelayan asing. Firman Raja ini menunjuk pada Firman-firman Raja serupa sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889 yang dalam pertimbangannya (preamble) menyebutkan hak-hak nasional yang telah lama dalam sejarah, keadaan geografis khusus dari pantai Norwegia, dan tujuan melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan vital dari penduduk bagian Utara Norwegia.

Inggris tidak menyangkal hak Norwegia untuk memiliki lebar laut teritorial sejauh 4 mil, namun yang dipersoalkan adalah cara penarikan garis pangkal lurus tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Pihak Inggris berpendirian bahwa garis pangkal harus ditarik menurut garis pasang surut daripada tanah daratan (permanent dry land) yang merupakan bagian dari wilayah Norwegia. Dalam pandangan Inggris, “skjaergaard” merupakan gugusan pulau-pulau yang terletak dihadapan pantai Norwegia, bukan merupakan bagian dari daratan tetap Norwegia.

Selain perbedaan pandangan di atas, kedua belah pihak berbeda pula dalam penerapan (application) dari cara penarikan garis pangkal yang ditarik menurut garis pasang surut. Mahkamah Internasional menelaah tiga macam cara penarikan garis pangkal yang didasarkan atas asas pasang surut, yakni:

  1. Cara “trace parallele”, dimana garis batas luar mengikuti segala liku dari garis pasang surut;
  2. Cara “arcs of circles”, dimana langsung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis pangkal terlebih dahulu; dan
  3. Cara “straight base-line” (garis pangkal lurus), dimana garis pangkal ditarik tidak tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya, melainkan ditarik garis-garis lurus yang menghubung titik-titik tertentu yang berada pada garis pasang surut.

Dari ketiga cara di atas, cara “arcs of circles” dikesampingkan oleh Mahkamah dengan alasan tidak relevan

Pendirian Inggris mengenai persoalan-persoalan yang dikemukakan di hadapan Mahkamah Internasional di atas adalah bahwa satu-satunya cara penetapan garis pangkal yang tepat dan merupakan kaidah yang berlaku umum adalah cara penarikan garis pangkal yang menuruti garing pasang surut. Artinya garis luar laut territorial harus mengikuti segala liku-liku garis pangkal yang dalam hal ini sama benar atau “identik” dengan garis pasang surut. Cara penarikan garis pangkal lurus (straight base-line) pihak inggris menganggapnya sebagai suatu pengucialan hanya dapat dibenarkan dalam hal-hal tertentu dan dengan pembatasan-pembatasan tertentu.

Pihak inggris berpendapat bahwa Norwegia hanya dapat dibenarkan menarik garis pangkal lurus di muka suatu teluk (bay), tapi tidak dari satu pulau kepulauan lain depan pantai atau depan gugusan pulau (skjaergaard). Menurut pihak Inggris panjang garis pangkal dimuka suatu teluk demikian tidak boleh melebihi ukuran panjang 10 mil.

Mahkamah Internasional dalam keputusannya menyatakan tidak sependapat dengan pihak Inggris bahwa penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia hanya dapat dibenarkan sebagai suatu pengecualian. Cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegian tidak lain daripada suatu penerapan (suatu kaidah) hukum internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan khusus. Mahkamah juga menolak pendapat Inggris bahwa garis pangkal lurus hanya dapat ditarik dimuka suatu teluk.

Mahkamah juga tidak dapat menerima dalil Inggris bahwa panjang garis pangkal (yang ditarik Norwegia) tidak boleh melebihi 10 mil. Mahkamah menyatakan pendapat bahwa karenanya:

“… The Norwegian Government in fixing the base-lines for the delimitation of the Norwegian fisheries zone by the 1936 Decree has not violated international law”

Selanjutnya Mahkamah mengatakan bahwa:

“… The delimitation of sea areas has always an international aspect; it cannot be dependent merely upon the will of the coastal State as expressed in its municipal law.

…Some reference must be made to the close dependence of the territorial sea upon the land domain. It is the land which confers upon the coastal State a right to the waters off its coasts…

…The real question raised in the choice of baselines is in effect whether certain sea areas lying within these lines are sufficiently closely linked to the land domain to be subject to the reg me of internal waters.

There is one consideration not to be over looked; the schope of which extends beyond purely geographical factors; that of certain economic interests peculiar to a region, the reality and importance of which are clearly evidenced by a long usage.

  1. Klaim-klaim 200 mil oleh Chile, Ecuador dan Peru

Perkembangan lain dalam hukum laut internasional sesudah Perang Dunia ke-II yang menarik adalah klaim-klaim yang diajukan oleh beberapa negara Amerika Selatan atas suatu jalur laut yang lebarnya 200 mil. Deklarasi Presiden Chile tertanggal 23 Juni 1947 dan Deklarasi Presiden Peru tertanggal 1 Agustus 1947, klaim kekuasaan negara atas suatu jalur selebar 200 mil yang berbatasan dengan pantai. Dalam arti geologis, deklarasi-deklarasi Chile dan Peru ini walaupun dinamakan klaim atas “continental shelf” justru didasarkan atas alasan atau argumentasi tidak adanya “continental shelf” dalam arti geologis di muka pantai kedua negara ini yang memerlukan suatu kompensasi.

Beberapa tahun kemudian dasar alasan klaim-klaim Chile dan Peru ini diperkuat dengan argumentasi biologi yang mereka namakan teori bioma. Asas-asas yang menjadi dasar daripada klaim Chile dan Peru yang merupakan perpaduan atau kombinasi daripada argumentasi geologi dan biologi ini dikemukakan dalam Deklarasi Santiago. Deklarasi ini yang merupakan kelanjutan daripada deklarasi Presiden Chile tertanggal 23 Juni 1947 dan Presiden Peru tertanggal 1 Agustus 1947mengenai landas kontinen (Continental shelf), didasarkan atas konsep-konsep “eco-system” dan “bioma”.

Menurut juru-bicara juru-bicara negara-negara ini dan paper yang dikemukakan dalam konperensi-konperensi international, suatu “eco-system” (ecological system) adalah jumlah total daripada faktor-faktor non-biotik, terutama faktor-faktor klimatologi dan hidrologi, yang memungkinkan adanya kehidupan hayati dan nabati. Didalam suatu”eco-system” satuan-satuan mahluk mulai dari bentuk-bentuk hidup nabati dan hayati yang mikroskopis kecilnya hingga bentuk binatang menyusu yang paling sempurna yaitu manusia hidup berdampingan dalam interdependensi sempurna merupakan satu rangkaian biologis yang dinamakan “bioma”. Dalam “eco-system” yang mengandung “bioma-bioma” di daerah yang meliputi wilayah-wilayah negara Chile, Ecuador, dan Peru, Arus Laut Humboldt atau Peru (Humboldt or Peruvian Current) memegang peranan penting sebagai faktor utama dalam kehidupan biologis didaerah ini. Karena interdependensi yang sangat erat antara kehidupan di darat dan sumber kekayaan di laut, maka perlindungan kekayaan laut menjadi soal hidup atau mati bagi rakyat negara-negara ini.

[1] ”Now, therefore, I, Harry S. Truman President of the United States of America, do hereby proclaim the following policy of United States of America with respect to the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf. Having concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural resources, the Government of the United States regards the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coasts of the United States are appertaining to the United States, subject to its jurisdiction and control. In cases where the continental shelf extends to the shores of another State, or is shared with an adjacent State, the boundary shall be determined by the United States and the State concerned in accordance with equitable principles. The character as high seas of the waters above the continental shelf and the right to their free and unimpeded navigation are in no way thus affected“.

[2] de Magelhaes mengatakan, “The maritime species of fish, particularly the edible varieties, are not uniformly distributed throughout the whole sea.” Kemudian ia mendeskripsikan continental shelf: “The other much vaster region are generally inedible. On the other hand, those which inhabit the continental shelf are for the most part edible”. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Suarez: “Should not a special technical conference be convened to draw up immediately without regard to the extension or maintenance of maritime jurisdiction extending to the 3 mile limit, whose wealth constitutes a food reserve for humanity…”.

*An Assignment

**Reference: Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional (1986).

Standard